Tuesday, December 07, 2010

Sebuah kunjungan ke rumah sahabat

Rumahnya bagus. Kecil tapi nyaman. Temanku ini, ah dia sahabatku, bahkan sudah seperti saudara. Sejak kecil kami bersama, tumbuh bersama.
Hari ini kunjungan pertamaku ke rumahnya. Kesibukanku dinas di luar Jawa, menyebabkan aku absen ke pernikahannya enam bulan lalu (jahatnya akuuu...hehehe). Dan kunjungan ini sebagai pengganti ketidak hadiranku kemarin dan permintaan maafku.
Kubawakan oleh-oleh siomay khas buatan ibukku dan sebuah kado yang dengan terburu-buru kubeli kemarin malam karena toko hampir tutup, untung saja counter-counter di toko itu aku sudah hapal, jadi tak sulit menemukan satu set cangkir kopi beserta coffee mill nya. Yah...pasangan baru ini memang pecinta kopi. Aaahh...aku lupa membeli biji kopinya, padahal kan bisa langsung coba bikin kopi sendiri di sini.hihihihi...
Setelah berbasa-basi sebentar menyapa dan mengajakku mengobrol, suaminya masuk, dan tinggalah kami berdua. Hmmm...aku memang tidak begitu akrab dengan suaminya, Didar. Berbeda dengan pacar-pacarnya yang dulu, yang notabene adalah teman-teman kuliah Mirna, Didar ini adalah temannya ketika Mirna mengikuti sebuah organisasi anti narkoba. Well..jadi yaa gak gitu akrab, kalo pacar-pacarnya yang dulu, karna tiap kali ada acara di kampusnya aku selalu datang, otomatis kenal, dan mereka sejiwa denganku, gila. Hmmm...bukan berarti Didar tidak gila, aku tau dia pasti gokil banget. Gak mungkin bisa bikin Mirna jatuh hati kalo bukan orang gila.hehehe... gila yang kumaksud di sini bukan gila yang di rumah sakit jiwa ya, karna pasti dokter RSJ pun gak akan mampu ngatasi kegilaan yang satu ini.
Balik soal kunjungan. Kami ngobrol banyak hal. Mulai dari bagaimana mereka memutuskan untuk menikah. Mirna bukan seorang perempuan yang memiliki cita-cita menikah di usia muda. Yah..selama aku mengenalnya, dia tak pernah membicarakan tentang pernikahan, atau keinginannya untuk menikah. Berbeda dengan teman-teman perempuan kami yang selalu sibuk berkhayal dengan siapa, bagaimana dan kapan mereka akan menikah nanti. Aku salah satunya yang sering berkhayal. Wkwkwk. Tapi gak punya-punya calonnya.
Memang Tuhan bekerja dengan caraNYA sendiri, cara menakjubkan yang kita gak tau, yang pasti Tuhan selalu memberi apa yang kita butuhkan. Mungkin memang aku belum butuh suami. (hahaha.bisaaaa aja jawabnya)
Kulihat Mirna begitu berbahagia dengan kehidupan yang telah dicapainya sekarang. Alhamdulillah...ucapku dalam hati. Tak ada yang lebih membahagiakan selain melihat orang terdekat kita bahagia bukan. Hanya saja ada satu hal yang mengganjal dalam hatiku. Ini juga yang akan kusampaikan padanya hari ini. Tentang Ibunya.

“kemarin aku ketemu Mama di Hypermart..” ujarku, aku memang memanggil ibunya Mirna dengan sebutan Mama, karna kami dekat, sudah kubilang kan, kami berdua, aku dan Mirna sudah seperti saudara.

“oh ya..hmmm...tanggal muda, biasa lah Mama pasti beli kebutuhan sebulan.”, katanya.

“kamu, jarang hubungi beliau ya, Na.”

“ummm...”, dahinya berkernyit.

“kemarin Mama bilang, tiap beliau sms kamu jarang balas. Sedih dia loh, Na.”

“yah...aku sibuk banget. Kamu tau kan, Da. Apalagi sekarang aku juga udah nikah, udah banyak yang harus dipikirin. Kantor, organisasi, suami.”, alasannya.

“hmmm...iya sich. Tapi apa kamu gak mikir, itu Mama mu, Na. Memangnya dulu kalo kamu ada masalah di kost, sakit, kamu sms beliau, apa beliau pernah mengecewakanmu dengan tidak pernah membalas sms mu? Sedangkan saat itu, dia juga pasti ada banyak masalah, kantor, suami, anak-anaknya, butiknya, dan organisasi sosial beliau yang gak cuma satu itu.”, kata-kataku membuatnya tercengang.

“dan anaknya gak cuma kamu Na, dan beliau selalu memperhatikan mereka semua dengan baik, smapai semua sukses. Apa beliau pernah mengeluh padamu?gak kan. Maaf, Na. Bukan maksudku mencampuri urusanmu, tapi aku sedih ngeliat Mama mu kemarin yang hampir nangis cerita tentang kamu. Apa kamu pikir mudah bagi seorang Ibu melepas anaknya menjadi milik orang lain?meskipun itu membahagiakan tapi sedih juga lho, Na. Aku ja sedih pas mbakku dulu juga nikah. Karna pasti kebersamaan kami tidak akan lagi sama. Begitu juga dengan kebersamaanmu dengan Mama kan. Na, tolonglah, perhatikan Mama mu juga. Kupikir, Didar juga gak masalah kan kalo sesekali kalian mengunjungi Mama. Itu Mama mu lho, Na. Perhatianlah mumpung beliau masih sehat..”

“iya, Da. Makasih atas tegurannya. Astogfirloh..kok aku jahat ya, Da. Hampir saja.. maaf.....”, katanya dengan sedikit air mata mengambang.

“iya sama-sama Na, kita harus saling mengingatkan kan? Jangan minta maaf padaku, minta maaf lah sama Mama. Telfon gih..”

Mirna bergegas masuk dan menelfon. Didar keluar, sepertinya dia mendengar pembicaraan kami tadi. Dia tersenyum.
“makasih ya, Da..udah ngingetin kami. Akhir-akhir ini kami memang sibuk sekali, sampe lupa mengunjungi Mama. Besok deh akhir minggu kami ke sana. Hmmm...”

“hihihi...iya, makasih juga, Di...karna gak tersinggung aku kek gini. Biar gimanapun ini kan keluarga kalian, harusnya aku gak ikut campur. Tapi ngeliat Mama kemarin, aku sedih. Jadi ya bertekad mo ngomong sama kalian.hehehe...jadi pelajaran juga kok buatku, kadang aku juga terlalu cuek sama Ibuku.”

“hehehe...ternyata yaaa....gimana kabar tante Zahra?om juga sehat kan.”

“alhamdulillah, sehat Di..eh kok tau nama Ibuku?pasti Mirna sering cerita tentangku juga yaa...”, kataku menjawab.

“iyalah, dia sering banget cerita tentangmu, sahabatnya.”

Bla...bla...bla...

Percakapan kami terus berlanjut setelah Mirna keluar lagi dengan tersenyum, ada kelegaan di wajahnya.
Sepertinya aku sudah melakukan hal yang benar. Yah, well...seperti kataku tadi, aku juga belajar. Belajar akan lebih memperhatikan ibu, dan bapakku. Dan tidak terlalu sering ngautis lagi.hehehe..
Jam di tanganku sudah menunjukkan pukul tiga sore. Sudah harus pulang. Aku pamit. Pulaaaaang...fiuh...tiba-tiba rindu rumah. Kulajukan motorku, mampir pasar dulu ah, beli sayuran, pengen masak buat Ibu bapak.hehehe...

Dalam perjalanan, tak hentinya aku tersenyum. Membayangkan wajah mama yang tersenyum, membayangkan wajah ibu dan bapak. Ahh...maaf bu, pak..anakmu yang bandel ini belum bisa dibanggakan. Tapi, ini niatku, aku takkan mengecewakan kalian. Suatu saat nanti, kalian pasti akan sangat bangga padaku. Amin.

Berbaktilah kepada kedua orang tua kita, bagaimanapun galaknya mereka, tegasnya mereka, marahnya mereka. Itu wujud kasih sayang mereka pada kita.

Ya Allah, rendahkanlah suaraku bagi mereka dan perindahlah ucapanku di depan mereka. Lunakkanlah watakku terhadap mereka dan lembutkanlah hatiku untuk mereka.
Ya Allah, berilah mereka balasan yang sebaik-baiknya, atas didikan mereka kepadaku dan pahala yang besar atas kasih sayang yang mereka limpahkan padaku, peliharalah mereka sebagaimana mereka memeliharaku sewaktu kecil.

“robbighfir lii wa li waalidayya warhamhumma kamma robbayaanii soghiiroo”
Ya Tuhan kami, ampunilah aku, Ibu bapakku dan kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.amin.