Pembicaraan sambil menunggu
kereta datang seringnya bermacam-macam, dan berloncatan topiknya. Sudah pernah
menunggu di stasiun? Beberapa tahun ini aku akrab dengan stasiun. Hal yang
tidak kusuka adalah mengantar, dan yang paling dinanti adalah menjemput. Aku
sendiri belum pernah naik kereta api sungguhan. Yah setidaknya sebelum memiliki
kesempatan berkereta, kuakrabi dulu ruang tunggu nya, parkirannya, suara-suara
keretanya yang datang dan pergi.
Pembicaraan kami cukup
acak-acakan kali ini. Mulai dari mbak-mbak yang gayanya mirip artis, hingga kaca
patri di ruang tunggu stasiun.
Di sela obrolan kami, hidungku
yang sedang flu terganggu aroma tembakau bakar, kepala ini menoleh seksama ke
arah bau. Lalu aku bertanya, di dalam kereta boleh merokok? Dijawabnya “nggak
boleh, wong di sini saja seharusnya tidak boleh kok.” Hah..masa iya tapi kenapa
bapak ini merokok enak betul di sampingku. Kupandangi lah dia dan rokoknya.
Kupandang dia sampai dia merasa tak enak hati kemudian pergi sambil mematikan
rokoknya. Hehehe. Aku tentu saja tersenyum penuh kemenangan, lalu bapak itu
lewat sambil melirik padaku.
Ruang tunggu tempat kami duduk
bukanlah ruang tunggu yang resmi, alias di depan loket customer service. Jadi,
percakapan kami adalah tentang apa saja yang lewat di depan kami, sore ini. Seorang
lelaki bermata sipit, berperawakan mirip dengannya lewat. Kukatakan padanya,
kalau mas putih, mungkin benaran dikira keturunan cina ya. “Jepanglah. Aku ini
mirip arek Jepang.” Kuberi tatapan heran padanya, iyelah..iyelah..
“Aku bawa buku banyak, tidak bawa
baju. Tas ini isinya buku semua.hahaha. habisnya mau beli rak lagi juga
percuma, di kamar sudah tidak ada tempat.”, begitu katanya, ketika kuminta
memindah posisi tas.
“Beli rumah, kak....beli rumah.”,
jawabku. Langsung dibalas lirikan mata dengan seksama. Aku mesem saja. Hehehe.
Gending Gambang Semarang
terdengar, itu pertanda kereta datang. Aku suka mendengarnya. Terbayang ketika
akhirnya kereta berhenti dan kita sampai di tujuan, Semaraaaaang. Belagak
treveler-treveler gitu. Hihihi. Jadi ingin tahu, di stasiun lain, gendingnya
apa ya. :)
Menyenangkan adalah ketika gending itu berbunyi dan dia muncul dari pintu
keluar dengan senyumnya yang sumringah.
Percakapan kami melompat dari
satu hal ke hal lain. Aku menoleh padanya. Kukatakan padanya bahwa tiap dia
bangun tidur, wajah habis mandi langsung sirna. Ya, sebelum berangkat ke
stasiun, dia mandi, dan terlihat segar dengan rambut kriwilnya yang basah.
Dia bilang,
“yah beginilah, mandi tidak mandi sama saja. Terlihat sudah mandi hanya ketika
rambutku basah. Dan sayangnya rambut ini cepat kering, dan cepat mengembang
kembali.”
Aku kembalikan pandanganku ke
depan, menggumam “kuntringer ki ra ra perlu media
ekspresi.... kuntring adalah bentuk eksperesi. kalo bisa menggak-menggok,
ngeruwel kanapa harus mainstream lurus.”
“hah..apa?”
Kuulangi
kalimatku, sambil menambahkan bahwa itu adalah kalimat milik Mas Nuramri Saja. Lalu
dia bercerita tentang temannya itu. Teman yang pandai mengoperasikan corel dan sering memenangkan
kontes design.
Aku menggumam lagi, “design seharga dua ratus juta.”
“hah..apa?”
Dia suka
sekali bagian itu, -hah-apa- nya itu. Kuulang kalimatku, “design seharga
200juta, itu logo pt kai itu.”
“ooh...yang
bikin Farid Stevy ya..”
“iya...”,
sebenarnya aku ingin bertanya, kalau dia dapat uang 200juta, mau dia pakai apa.
Tapi tidak kutanyakan. Rasanya aku pun akan malas diberi pertanyaan seperti
itu.
Dia teringat
pada temanku, yang bekerja di pt kai, apakah temanku itu menjadi masinis. Kujawab
tak tahu, karena aku sungguh tak tahu. Aku jadi ingat cerita tentang masinis. Kuceritakan
pula padanya. Bahwa masinis tugas dinas/menyopiri kereta 3-5 jam. informasi ini
kudapatkan dari teman yang juga bekerja di pt kai. Aku punya tiga teman yang
bekerja di pt kai. Tapi aku tidak tahu tugas mereka sebagai apa.
Teman memberi
contoh kereta Jakarta-Semarang yang mengalami satu kali pergantian masinis. Sang
masinis, mari kita sebut beliau Pak Arman. Pak Arman bertugas menyopiri kereta dari
Jakarta dengan tujuan Semarang, ketika sampai di stasiun Cirebon, dia akan
digantikan temannya. Mari kita sebut beliau Pak Baskoro. Pak Baskoro inilah
yang akan melanjutkan tugas Pak Arman, menyopiri kereta dari stasiun Cirebon
sampai tujuannya yaitu Semarang. Lalu bagaimana dengan Pak Arman? Apakah dia
akan pulang? Tidak, Pak Arman akan kembali menyopiri kereta itu keesokan
harinya, dari stasiun Cirebon menuju Jakarta, menggantikan Pak Baskoro. Teman menyebutkan
bahwa mereka bekerja seperti jatah jam kerja pegawai pada umumnya, yaitu 8 jam
sehariatau 40 jam seminggu. Nah, masinis menyopiri kereta selama empat jam dan
istirahat selama empat jam, jadi totalnya pas 8 jam sehari dan 40 jam seminggu.
Asik ya, istirahatnya masinis itu dihitung bekerja. Tapi tanggung jawabnya
besar. Dan nyopiri kereta tentu tidak semudah menyopiri sepeda roda tiga, belum
kalau tiba-tiba ada truk BBM berhenti di pintu kereta. Ngerem kereta nggak
sesimpel ngerem pakai sendal swalow. Di mana para masinis itu beristirahat? Di mess
yang disediakan atau menginap di penginapan, ku rasa begitu, aku belum
menanyakan tentang itu pada temanku.
“hmm...berarti keretamu tidak
mengalami pergantian masinis. Waktu tempuh hanya tiga jam kan?”
“Iya, sekarang jam berapa?”
“Jam setengah empat. Kereta mu
berangkat jam berapa?”
“Empat dua lima.”
“Masih lama.”
“Adik itu ngeliatin terus.”
“Hah..mana..”
“Itu tadi..”
“Mana..”
“Itu tadi yang lewat digandeng
ibunya. dari sebelah sana sampai sana, liatin aku terus.”
“Mungkin karena rambut kriwilmu.”
“Hahaha.iya.”
Kemudian lewatlah ibu-ibu hamil
tua berbaju pink cerah. Perutnya besar sekali. Kami berdua menatap perutnya.
“Lucu.”, katamu.
“Apanya..”
“Perutnya. Besar.”
“Iya, mungkin bayinya besar.”
Lalu lewat serombongan mas-mas
pecinta alam. Kenapa aku bisa tahu? Karena mereka kluwus tapi menarik. Hahaha.
“Kenapa mas-mas yang seperti itu
selalu menarik untuk dilihat?”
Dia diam saja, sepertinya tidak
paham.
Terdengar keributan. Ada (kemungkinan)
copet ngeles, dan minta dikasihani. Lalu dipiting dua lelaki dan diamankan
bersama Pak Satpam.
Kami pandang area parkiran. Ramai
dengan mobil dan sepeda motor.
“Ini hari minggu ya.”
“Iya.”
“Pantas. Ramai. Tapi tidak
biasanya mobil sebanyak ini. Pada ngapain sih di sini.”
Aku diam saja. Aku juga heran. Tapi
tak kupikirkan.
*sigh* Aku benci mengantar. Karena
nanti pulangnya sendirian. Tapi aku lebih benci tidak mengantar, karena nanti
dia sendirian.
“Jam berapa?”
“Jam empat lebih lima.”
Dia kenakan kemeja flanel kotak-kotak,
yang sedari tadi dia lipat.
“Jam berapa? Sudah lebih lima
belas belum?”
“Sudah.”
Kami beranjak menuju pintu
pemeriksaan tiket. Antre. Lalu kami mengedarkan pandang mencari kaca patri yang pernah kami lihat
fotonya di laman fesbuk milik teman. Kaca patri pada jendela ruang tunggu. Kaca patri
nan cantik bergambar lokomotif. Kaca patri yang cantik. Ciamik.
“Aku tidak pernah memperhatikan
itu, ada kaca patri ciamik.”
Ah dia memang jarang
memperhatikan hal seperti ini. Gending Gambang Semarang yang berbunyi juga
pasti luput dari perhatiannya. Gending Gambang Semarang yang dibunyikan ketika
kereta datang. Gending Gambang Semarang yang seolah menyambut datangnya para
penumpang di Kota Semarang. Jawa Semarang. Aku sering membayangkan,
menginjakkan kaki turun dari kereta dan disambut gending ini. Macak turis.
Tiba giliran tiket miliknya
diperiksa. Dia pamit. Kutunggu hingga dia hilang dari pandangan, berbaur
bersama penumpang lain, menuju Kamandaka.
Aku pulang, menyusur jalan yang
sama dengannya beberapa jam yang lalu. Sendiri.
*Ditulis dengan ingatan pada tanggal 14 September 2014*