Sunday, January 18, 2015

Seribu Tahun Lamanya

Bila.... kau sanggup untuk melupakan dia, biarkan aku hadir dan menata ruang hati yang telah tertutup lama. Jika kau masih ragu untuk menerima, biarkan hati kecilmu bicara, karena ku yakin kan datang saatnya kau jadi bagian hidupku... kau jadi bagian hidupku. Takkan pernah berhenti untuk selalu percaya walau harus menunggu seribu tahun lamanya. Biarkan lah terjadi wajar apa adanya walau haru menunggu seribu tahun lamanya. Selama apapun itu ku akan selalu menunggu...

Ini lagu lama. Dulu dinyanyikan oleh Jikustik. Pencipta lagu ini tentu saja pentolan Jikustik, Pongki Barata. Saya ngetik lirik lagu ini sambil mendengarkan versi Tulus-nya. Arransemen lagunya dibikin nge-jazz gitu. Saya suka. Pertama saya dengar dari radio. Iseng saja semalam, merasa rindu sudah lama sekali tidak mendengarkan siaran radio lokal. Sekarang seringnya streaming melalui komputer, radio Yogyakarta atau Jakarta. 

Semalam memang sengaja mencari saluran radio yang memutar lagu domestik. Eh nemu lagu ini. Intronya saja sudah asik. Merasa tidak asing dengan lirik lagunya. Saya secara tidak sadar ikut menggumamkan lagu ini. Aduuuh...saya suka lagu ini ketika dinyanyikan Tulus. Semalam saya dengar lagu ini di radio sampai tiga kali. :)

Saya google lirik lagunya dan ternyata ini lagu di album Pongki Barata Meet the Stars. Semua lagu ciptaan Pongki Barata, tidak melulu yang pernah dinyanyikan Jikustik.

Pada lagu ini, berdasarkan yang saya baca di website Pongki Meet The Stars, Tulus mengubah kata 'tahu' pada lirik karena ku tahu kan datang saatnya kau jadi bagian hidupku... menjadi 'yakin'. hihihi. Saya malah ndak ngeh jika dulu lirik lagunya begitu. Tapi saya suka lagu ini sekarang juga karena bagian 'yakin' itu kok.

karena ku yakin kan datang saatnya kau jadi bagian hidupku...kau jadi bagian hidupku...selama apapun itu ku akan selalu menunggu...

Wednesday, January 14, 2015

Sang Kertas

Aku adalah sebatang ranting yang tumbuh cukup kokoh pada sebuah pohon. Manusia menyebut pohonku akasia. Aku tumbuh di sebuah lahan sewa. Pada sebuah universitas. Beberapa bulan yang lalu pohonku ditebang. Aku ini milik sebuah perusahan kertas. Bukan milik universitas. Dan beberapa bulan kemudian, aku tahu aku bukan lagi sebuah batang. Akulah kertas. Teman-temanku beruntung, menjadi kertas buku. Berisi tulisan penuh makna dan ilmu. Sedangkan aku, dilihat dari ukuranku, tentu aku tak mungkin menjadi buku.
Hari ini aku akan tahu aku menjadi apa.
Ah rupanya aku menjadi kertas yang bertuliskan nomor antrean. Pada sebuah bank. Aku bernomor 171. Seorang manusia menggenggamku.  Tanpa membuatku kusut. Dia lalu mencari tempat duduk. Kukira dia lebih suka duduk di deret kursi belakang. Karena raut wajahnya ketika duduk di deret depan tak menunjukkan rasa senang.
Dia mulai mengeluarkan dompetnya, tapi dompet itu tak berisi uang. Hanya sebuah ponsel dan beberapa buku tabungan.
Beberapa kali dia melihat ke arah monitor nomor antrean. Waaah rupanya giliran dia masih cukup lama. Di monitor itu tertera angka 156.
Dia tahu gilirannya masih lama, tapi tetap saja ketika monitor itu bersuara, dia melihat ke arah monitor itu lalu ke melihatku. Dan kemudian menghela nafas. Aku memperhatikannya. Dia sering menghela nafas dan menguap. Dia juga sering melihat ke arah monitor, ke arahku, lalu ke meja teller. Sepertinya dia menghitung gilirannya. Apakah dia akan melakukan transaksi di konter satu ataukah dua. Sepertinya dia mengharapkan konter du. Maka dia selalu mengulang menghitung, terutama jika ada satu nomor antrean yang kosong.
Ooh...sepertinya dia bosan, dia mulai menguap lagi. Dia tidak lagi menghitung kapan gilirannya. Dia kini mengutak-atik ponselnya. Aku tak tahu apa yang dia mainkan, tidak nampak. Dia meletakkanku di antara ponsel dan dompetnya.
Ah sepertinya dia juga sudah mulai bosan pada ponselnya. Dia masukkan lagi.
Oh dia melihat ke arahku. Gawat. Dia mulai melipatku. Melipat dua. Kemudian dia lipat-lipat membentuk sesuatu. Tapi belum jelas aku jadi apa. Oh..oh..aku sekarang menjadi sebuah kapal. Aku jadi rindu ketika aku adalah sebuah batang. Dulu kukira aku akan menjadi sebuah perahu. Mengarungi laut dan samudera yang luas. Atau paling tidak menjadi rakit atau dayung. Sepertinya menyenangkan bersentuhan dengan air. Meskipun ketika aku adalah sebuah batang pohon aku juga bersentuhan dengan air hujan. Tapi tentu mengapung di sungai atau laut sangat menyenangkan. Ya..ya..mari kembali padanya.
Dia terlihat senang ketika aku berubah menjadi sebuah perahu kertas. Dia tersenyum. Ah dia mengernyitkan dahinya. Dia bongkar perahu kertasku.
Dia mulai melipat lagi. Dengan lipatan yang berbeda.
Errr...sepertinya dia bingung akan membuat apa. Setelah beberapa menit berkutat dengan sudut lipatan dan sesekali tersenyum geli, tampaknya telah jadi. Bentuk apa ini. Aku tak paham. Dia pun juga tampak tidak paham. Dia akan tertawa. Oh dia menahan tawanya.
Ah dia melepas lagi lipatan-lipatan ini. Apa sebenarnya yang dia pikirkan. Tapi aku senang, dia tampak puas bermain-main denganku. Kantuknya hilang. Bosannya terbang.
Waah...kini aku berbentuk seperti kipas, dengan nomor ku di depan nampak jelas berikut hiasan lipatan di kedua sisi. Hihihi.
Sepertinya kini sudah gilirannya melakukan transaksi. Aku dihadapkannya pada pegawai bank. Doanya tak terjawab. Hitungannya meleset. Dia dilayani di konter satu. Hahaha.
Nah selesai sudah tugasku. Sang pegawai bank mengambilku. Lalu membuangku ke tempat sampah di bawah meja.
Sekian tahun aku tumbuh sebagai pohon. Lalu manusia mengolahku menjadi kertas. Hanya tiga puluh menit aku bermanfaat. Sebagai nomor antrean. Dan dibuang. Menjadi sampah. Akankah aku bermanfaat lagi. Entahlah...

Tuesday, January 13, 2015

Lelaki Kecil

Sore ini saya bertemu seorang anak kecil. Lelaki kecil. Matanya bening. Bulatan hitamnya masih besar. Mungkin mata anak kecil lah yang mengilhami produsen kontak lensa mata. Supaya mata terlihat lebih besar. Supaya mata mereka tampak bening seperti anak-anak. Ekspresi anak itu lucu. Ndowoh begitu seseorang menyebutnya. Rambutnya hitam dan tebal. Nanti ketika ia cukup besar, ia tahu rambut itu disebut keriting. Dan dia akan protes pada ibunya. Mengurung diri di dalam kamar. Dan berteriak kenapa di antara saudara-saudara sekandungnya, hanya dia yang keriting. Peristiwa itu akan cepat ia lupakan. Dan hadir kembali dalam ingatan ketika sang ibu bercerita. Ia dan ibu akan sama-sama menertawakan. Dan mungkin ia akan jadi rindu. Betapa pada masa itu, menjadi kanak-kanak memiliki banyak kesenangan yang sederhana. Bermain gundu, bermain air di kali, bermain lumpur di sawah, berkubang air hujan di lapangan sepakbola atau sekadar menunggu ibu lengah dan kabur bermain bersama teman-teman di siang hari saat ia harus tidur. Betapa ia akan merasa beruntung tak harus disibukkan dengan berbagai les mata pelajaran ini, kursus itu, harus pandai begini dan begitu, seperti kebanyakan anak jaman sekarang. Betapa dia mensyukuri tak perlu khawatir iri pada gawai yang dimiliki teman-temannya. Karena mainan pada masa itu bisa mereka buat sendiri bersama-sama. Mobil dari debog pisang beroda potongan sandal jepit, atau permainan yang hanya membutuhkan tanah lapang dan banyak kawan. Masa  kecil akan berkelebat dalam ingatannya dan ibu. Ketika saling bercerita. Ia mungkin akan menyangkal tak percaya. Dan ibu akan tetap meyakinkan sambil tertawa. Dan saya hanya menduganya demikian. Karena saya hanya bertemu anak itu dalam sebuah foto. Saya hanya menduga semua cerita masa kecilnya itu dari sinar mata dalam foto dan sekelumit cerita yang pernah ia utarakan.
Ia menjadi dewasa dengan caranya. Ia menjadi dewasa dengan bahagia.
Sehat selalu ya.
😊

Wednesday, January 07, 2015

perkara itu itu lagi

Saya bukan perempuan tangguh. Entah kenapa pikiran itu kembali mengusik saya. Lha wong jalan di kota saja yang notabene tidak jalan kaki alias naik motor saya keok, apalagi jalan di hutan pegunungan. Tentu saya akan merepotkan.
Lha kan jalan di gunung ndak perlu tiap hari kan. Begitu teman saya menghibur. Entah justru membuat saya semakin down. Hahaha. Lha iya, justru butuh berjibaku dengan perkotaan tiap hari kan
 Kenapa malah keok. Lantas seharusnya bagaimana supaya tidak gampang keok. Itu pertanyaan pentingnya. Bukan mempermasalahkan keok di mana. Tapai bagaimana supaya sehat selalu. Hahaha.
Kowe pancen ruwet, Dan.
Nah, sudah clear kan sekarang.
Sing adem ayem yo.
Nek pancen jodone mlaku ning gunung, mengko bakal mlaku meneh.
OLAHRAGA DONK!!!

Thursday, January 01, 2015

cie...cie..2015

2015
Yaelah udah 2015 aja ya. Sepertinya 2014 kemarin saya termasuk golongan orang merugi. *sigh* Piye ndak rugi wong saya ndak ingat apa saja yang sudah saya capai setahun kemarin. Garapan artikel ndak saya sentuh lagi. Saya malah asik dolanan. Ah pancen mbuh.
Umur nambah tapi kedewasaan ndak nambah-nambah.
Beneran nih saya ndak ingat setahun kemarin ngapain saja. Hiiiiiii.... Jangan-jangan saya amnesia. *diketak*
Tapi mari nulis apa saja yang harus saya capai 2015.


1. Kerja beneran.


Udah. Satu saja dulu. Hehehe. Doa yang satu itu diucapkan dan diniati baik-baik dalam hati saja. Aamiin.
Doanya semoga semua selalu diberkahi sehat dan bahagia. Damai dan tentram alam semesta. Aamiin.