Bagaimana jika kita bercerita
tentang gunung Merbabu. Ini cerita yang sedikit terlambat. Dua tahun yang lalu.
15-17 November 2012. Saya menyanggupi dan memberanikan diri mendaki Gunung
Merbabu bersama teman-teman. Rombongan yang sebenarnya belum pernah saya temui.
Saya dan Risky, dari Semarang. Mbak Chopie, Mbak Tyas, Ian dan Drajat, dari
Surabaya. Mas Adhi dan Mas Nanang dari Wonosobo. Mas Dhanny, Zie, Rizqon dan
Arif dari Yogyakarta. Kami berduabelas.
Saya ini pendaki amatir. Baru sekali
itu mendaki gunung, dalam artian menggapai puncak yang sesungguhnya. Karena pernah
beberapa kali mendaki gunung Ungaran tapi tidak sampai puncak, masih jauuuh
bahkan yang saya kira saat itu sudah di tengah-tengah menuju puncak. Eh ke
Candi Gedong Songo dan sampai di candi paling atas itu juga naik gunung lho.
*ngeles*
Karena saya amatir, rombongan sempat
dibagi menjadi dua. Rombongan yang menemani saya mandeg-mandeg, awalnya
ditemani Risky, Mas Nanang dan Mas Adhi. Kemudian mereka bergantian. Hehehe. Bahkan,
tas ransel saya dibawakan. Sungguh terlalu. *nyengir*. Dan rombongan yang
jalannya bebas hambatan. Sungguh saya melongo, mereka seperti jalan kaki di
jalanan yang datar saya. Padahal Mbak Tyas mengenakan rok. *gumunan* Begitu
sampai di atas ternyata banyak mbak-mbak berkerudung yang mengenakan rok. Dan bukan
hanya mengenakan rok, mereka menggendong ransel yang –gaban aja kalah gede-,
duh gumun lagi. Ah siapalah aku ini.
Tapi memang dasar amatir, cuma bawa
badan aja masih sering berhenti. *nyahahaha*
Saya menjadi mengenal banyak hal.
Tentang ketinggian itu sendiri, kebersamaan dan alam. Tentang trik dan
bagaimana bersikap. Bagaimana mengendalikan ego. Bagaimana berkomunikasi. Bagaimana
mengolah raga dan pikiran.
Ketika berangkat, ah iya, kami
naik melalui jalur Wekas. Saya dan Risky berangkat dari Ungaran menggunakan bus
dan turun di Pasar Sapi, kemudian naik bus kecil menuju Wekas. Sebelum menuju
Wekas, kami mampir ke minimarket, membeli beberapa rokok dan baterai untuk
headlamp. Rokoknya Risky lho yaa, bukan saya. Di minimarket ini, Risky
menghabiskan minumnya kemudian meremas botol, menggepengkan dan menyimpannya ke
dalam ransel. Awalnya saya bingung, tapi nantinya saya akan tahu, botol itu di
atas sana akan ditiup lagi, mengembung lagi dan diisi lagi dengan air gunung.
Jangan tanya bagaimana dinginnya
udara di sana, padahal baru di beskemnya (belum puncak dan perjalanannya). Kaki
dan tangan sudah dinginnn, tiap bicara, mulut mengeluarkan uap, dan
berkali-kali ingin buang air kecil. Saya suka kamar mandinya, khas pemukiman kaki
gunung, bak besar dan air terus mengalir. Jangan tanya dingin airnya seperti
apa. Jangan tanya, karena saya akan menceritakan. *hehehe*. Airnya seperti air
es dalam botol yang diam-diam saya letakkan di dalam kulkas, dan diam-diam saya
minum jika ibu sedang tidak di rumah. Saya suka air dingin sedingin air es,
tapi ibu sering melarang saya minum air es, nanti pilek katanya. Tapi saya
memang ndableg, jadi seringnya diam-diam minum es. Dan di kamar mandi itu, saya
minum airnya, bukan yang dari bak, tapi yang mengalir melalui keran, yang di
dalam bak memang lebih dingin tapi ada ikannya, masa iya saya minum air campur
pipis ikan. *hihihihi* Eh tapi nikmat lho airnya. Saya minum satu gayung penuh.
Setelah dirasa siap nanjak, kami
foto-foto dulu di depan beskem, Risky bilang “tenang saja mbak, lihat nih
petanya, kita udah separuh dari ketinggian Merbabu kok.” Kalimat yang saat itu
memicu saya untuk tambah semangat, namun kemudian, beberapa jam selanjutnya
saya ragukan kebenarannya. Iya, masih jauh, dan masih tinggi.
Tapi sepertinya memang adatnya
sesama pendaki, ketika bertemu, pendaki yang turun gunung akan menyemangati
pendaki yang baru naik, “semangat mas, mbak...sebentar lagi sampai kok..duluan
ya.” Percayalah, yang mereka katakan tidak detil, sampai di manaaaaa????
*hehehe*
Sempat bertemu rombongan pendaki
yang cukup unik, dari kejauhan terdengar suara kelintingan sapi. Rupanya, di
tas atau baju mereka, dipasang lonceng yang suaranya mirip lonceng pada gerobak
sapi. Mungkin maksudnya, kalau ada yang nyasar jadi mudah ditemukan.
Nge-camp semalam. Jangan tanya
bagaimana rasanya tidur di tempat sedingin itu, dan badan pegel-pegel. Nggak bisa
tidur. Berkali-kali merubah posisi perlahan karena takut membangunkan Mbak
Chopie dan Mbak Tyas, sempat keram dan nggak bisa gerak. Dan karena geli betapa
saya ini lucu sekali kok bisa-bisa nya ikut munggah
gunung, geli dan takjub -akhirnya tidur di gunung-, *ndeso pancenan* karena
tertawa itulah saya bisa bergerak lagi. Sini, saya ceritakan bagaimana cara
saya merubah posisi tidur. Tidur menggunakan sleeping bag, jadi mirip enthung –pupa
ulat-, nah pernahkah mencoba membalik ulat? coba saja, ulat yang sedang
berjalan dibalik menggunakan kayu atau ranting, nanti dia perlahan akan memutar
tubuhnya kembali seperti semula, nah begitu pula cara saya merubah posisi,
hadap kiri, hadap kanan, hadap atas. Nikmat pegelnya. Malam terasa sangat
panjaaaaang.
Pos helipad, jembatan setan,
persimpangan puncak syarif. Sempat ragu naik atau tidak ke sana, tapi kapan
lagi? Akhirnya naiklah saya ke puncak syarif, ditemani Arif. Foto-foto khas
pendaki, pegang tulisan Puncak Syarif. Foto-foto sama Rizqon yang rambutnya kriwil.
*bukan karena ada Rizqon yang berambut kriwil lantas saya ingat sesosok rambut
kriwil yang di Merapi, tapi memang sepanjang niat naik Merbabu, dia nyangkut
terus di pikiran*
Tentang rambut kriwil, sesungguhnya
dia tidak merestui saya naik Merbabu, karena dia harus ke Merapi. Eh tapi
semoga dia memahami bahwa kini, saya jadi tahu betul bagaimana perasaannya jika
sedang di rimba raya. Dan saya kembali menertawakan diri saya sendiri, yaelah
bro, sampe segitunya untuk mencoba memahami.
Sampai mana kita tadi. Puncak Syarif.
Kemudian menuju puncak Kenteng Songo. Percayalah, kalimat “ayo semangat,
sebentar lagi sampai.”, tidak akan pernah absen dari pendengaranmu, jika kau
mendaki gunung. Bahkan kalimat, “ayo, kurang sakkilan meneh.”, sakkilan adalah
satu jengkal tangan. Sungguh jarak yang pendek, bukan. Iya, tapi tolong
bayangkan bahwa satu jengkal tangan itu dilihat sambil mendongak ke atas. Nah,
ini baru mendaki, nggremet. Dan begitu
sampai di atas, saya adalah yang terakhir, teman-teman bertepuk tangan, “horeeeee....akhirnya
Dani sampai di atas.”. Saya. Terharuuuu. Bahagia. Tapi ini bukan jenis bahagia
yang sederhana. Naik gunung tidak pernah sederhana. Namun di atas sana kau akan
dengan mudah menyadari bahwa kau adalah makhluk yang sederhana di mata Tuhan,
sederhana dalam semesta. Kadang, di tengah gemerlap lampu kota, di antara
kemudahan mendapatkan sesuatu, kita sulit mengakui bahwa kita ini makhluk
sederhana. Kecil. Tak berdaya. Di atas sana, akan ada banyak hal yang kau
syukuri, udara yang bersih, tanah yang subur, padang menghijau sepanjang
pandang, dan teman-teman yang baik, sangat baik. Bahkan sesama pendaki yang
tidak dikenal pun serasa saudara sekampung.
Kenteng Songo berkabut, Merapi
bersembunyi, tapi bahkan kebahagiaan kami serasa mampu menembus kabut dan nampaklah
sang Merapi. Gerimis datang. Kami membentangkan terpal, berdesakan menikmati
rintik hujan, menikmati kebersamaan dan menikmati kurma yang manis. Hujan reda,
dan betapa waktu cepat berlalu, kami harus bergegas turun, supaya tidak
kemalaman. Kali ini, ransel saya bawa sendiri. Kata mas Dhanny, “beneran mau
dibawa sendiri?Mbak Dani kuat?”. Kuat. Turun mah tinggal ngglundung aja kan?! Pemikiran
tersebut akan segera saya ralat. Turun itu harus lebih hati-hati. Ngglundung sih
bisa aja, tapi....*langsung kebayang ndrojog dari puncak triangulasi* Turun ini
saya belajar satu hal, setelah lihat mas-mas turun sambil lari. Iya, lari. Tapi
zig-zag. Saya ikutan, eh beneran lebih enteng lho. Ngeremnya juga lebih pakem.
Haus..haus..dan haus. Hujan turun
perlahan. Kami melewati ribuan pohon edelwis. Bukit luas yang mirip tempat
tinggal teletubis. Lapangan luas yang dikelilingi bukit.
Mengingatnya lagi membuat saya rindu
Merbabu. Ah. Sesungguhnya cerita ini tertulis karena saya memang sedang kangen Merbabu.
Merbabu yang kemarin sedikit digoyang gempa. Merbabu yang tenang. Merbabu yang
mengajari saya untuk lebih bisa mengendalikan ego. Sesungguhnya perjalanan dua
tahun yang lalu itu, saya belum mampu mengendalikan ego saya. Saya masih sering
mengeluh sepanjang perjalanan. Dan sejujurnya, jika perjalanan itu kami tidak
turun di Selo, mungkin di pertengahan jalan, saya menyerah dan memilih kembali
ke beskem.
Oh iya, mendaki Merbabu membuat
bayangan saya selama ini tentang gunung yang berbentuk segitiga, buyar sudah. Gunung
tidak sesederhana itu.
Dan sampai sekarang, jika saya
memandang gunung, akan saya amati detilnya, liuknya, padang rumputnya, lembah-bukitnya,
dan membayangkan bagaimana rute dan rasa berjalan di sana.
Saya rindu Merbabu. Saya rindu
mendaki.
Gunung yang dari kejauhan
berwarna abu, semakin dekat berwarna biru dan semakin dekat lagi berwarna
hijau.
Gunung yang dalam masa
kanak-kanak adalah tempat keluarnya matahari, dan ujung dari jalan raya, seolah
semua jalan raya bermuara di kaki gunung.
Perjalanan membawa kami pada
suatu waktu yang dinamakan senja. Gerimis menderas. Haus seolah mengejek,
begitu banyak air hujan dan kau merasa haus.
Senang, begitu melihat banyak
kemah. Saya berlari menuju teman-teman yang lebih dulu sampai. Mereka nampak
menunggu sesuatu. Menunggu air terkumpul cukup banyak di atas terpal kemah. Kemudian
meminumnya. Dan haus mengalahkan perasaan –itu air kotor nggak ya-.
Dan bahagia itu sederhana adalah
ketika ada seorang bapak tua gondrong menatap saya meneguk air hujan itu. Begitu
saya selesai minum, bapak itu berkata “alhamdulillah”. Saya tersenyum padanya. Alhamdulillah.
Hujan pun tersenyum. Bagaimana? Bisa kau bayangkan perasaan saya saat itu.
Hari menggelap. Tanah licin. Sering
terpleset. Jatuh bangun. Semakin waspada. Kebelet pipis pula.
Titik-titik lampu perkampungan
membuat kami sedikit lega. Sebentar lagi sampai. Kini bukan lagi kalimat –ayo sebentar
lagi sampai- yang sedikit melegakan. Namun, gurat kecewa akan mendadak hadir
ketika kau belok kanan, titik-titik lampu tadi lenyap. Seolah fatamorgana. Dan terbayang
di benak saya adalah film Jurasic Park. Terbayang zaman purba. Kenapa saya
membayangkan zaman dan film yang bahkan belum pernah saya tonton sampai tuntas.
Entahlah.
Duh dengkul dan kempol sudah
kaku. Sulit melangkah. Kewaspadaan sedikit buyar.
Di sisa energi dan semangat,
nampak serombongan pendaki. Mereka berteriak (lagi, kalimat itu) “ayo semangat,
sudah sampai lho”. Kali ini mereka bersungguh-sungguh. Dan sampailah kami di
gerbang pendakian via Selo. Subhanallah.
Para pendaki di beskem
senyum-senyum. Entah mereka juga baru turun atau baru akan naik esok hari.
We’re home.
Bersih-bersih, mandi dengan air
es. Jangan tanya bagaimana keadaan kaki saya. Kakuuuuu. Hahahahaha. Saya sudah
boleh tertawa keras kan. Lega. Sambil menunggu soto dan teh, kami berbincang. Saya
bersuara. Ya, percayalah. Selama perjalanan di gunung, saya anteng. Sungguh.
Setelah sampai di beskem Selo, saya
bersuara dan bahkan melucu.
Teh panas, soto panas, tidak akan
terasa panas di sana. Tapi esoknya, kau akan merasakan lidahmu kebas.
Istirahat kembali dalam
sleepingbag, kali ini alasnya datar. Bisa selonjor dengan nyaman. Bisa tidur. Dan
tidak mau bangun subuhan. *keplak*
Paginya sumringah, meskipun tetap
dingin.
Dengan sebuah pesan, “....... Selamat
menapaki jalanmu di usia yang semakin jauh. Bahagia senantiasa.” Di luar, di
bukit belakang beskem, saya lihat dua ekor elang terbang. Hae mas, bagaimana
kabar Merapi. Maturnuwun sudah merestuiku mendaki Merbabu.
Masih mau dilanjutkan.
Dingin pagi dan kopi tentu tak
terpisahkan. Ngopi menggunakan cangkir –yang baru saja dipakai untuk bekam-. Tetap
sehat lah ya. Menu lainnya adalah wedang roti plus santan. Masih ingat kan,
lidah yang kebas. Santan berasa susu kental manis.
Sudah empat halaman cerita. Cerita
yang bahkan ketika ingatan masih hangat, luput tertulis. Kini muncul kembali. Berawal
dari kangen Merbabu dan cecuit di socmed, kami mengingat detil perjalanan itu.
Perjalanan yang hingga kini saya
syukuri, dan separuh saya rutuk betapa saat itu saya begitu merepotkan teman. Hyahahaha.
Semoga semua pada enteng
jodohnya, dimudahkan skripsinya, dilancarkan rejekinya dan selalu diberkahi
sehat bahagia. Aamiin.