Thursday, February 27, 2014

Merbabu yang terlambat diceritakan



Bagaimana jika kita bercerita tentang gunung Merbabu. Ini cerita yang sedikit terlambat. Dua tahun yang lalu. 15-17 November 2012. Saya menyanggupi dan memberanikan diri mendaki Gunung Merbabu bersama teman-teman. Rombongan yang sebenarnya belum pernah saya temui. Saya dan Risky, dari Semarang. Mbak Chopie, Mbak Tyas, Ian dan Drajat, dari Surabaya. Mas Adhi dan Mas Nanang dari Wonosobo. Mas Dhanny, Zie, Rizqon dan Arif dari Yogyakarta. Kami berduabelas.

Saya ini pendaki amatir. Baru sekali itu mendaki gunung, dalam artian menggapai puncak yang sesungguhnya. Karena pernah beberapa kali mendaki gunung Ungaran tapi tidak sampai puncak, masih jauuuh bahkan yang saya kira saat itu sudah di tengah-tengah menuju puncak. Eh ke Candi Gedong Songo dan sampai di candi paling atas itu juga naik gunung lho. *ngeles*

Karena saya amatir, rombongan sempat dibagi menjadi dua. Rombongan yang menemani saya mandeg-mandeg, awalnya ditemani Risky, Mas Nanang dan Mas Adhi. Kemudian mereka bergantian. Hehehe. Bahkan, tas ransel saya dibawakan. Sungguh terlalu. *nyengir*. Dan rombongan yang jalannya bebas hambatan. Sungguh saya melongo, mereka seperti jalan kaki di jalanan yang datar saya. Padahal Mbak Tyas mengenakan rok. *gumunan* Begitu sampai di atas ternyata banyak mbak-mbak berkerudung yang mengenakan rok. Dan bukan hanya mengenakan rok, mereka menggendong ransel yang –gaban aja kalah gede-, duh gumun lagi. Ah siapalah aku ini.

Tapi memang dasar amatir, cuma bawa badan aja masih sering berhenti. *nyahahaha*

Saya menjadi mengenal banyak hal. Tentang ketinggian itu sendiri, kebersamaan dan alam. Tentang trik dan bagaimana bersikap. Bagaimana mengendalikan ego. Bagaimana berkomunikasi. Bagaimana mengolah raga dan pikiran.

Ketika berangkat, ah iya, kami naik melalui jalur Wekas. Saya dan Risky berangkat dari Ungaran menggunakan bus dan turun di Pasar Sapi, kemudian naik bus kecil menuju Wekas. Sebelum menuju Wekas, kami mampir ke minimarket, membeli beberapa rokok dan baterai untuk headlamp. Rokoknya Risky lho yaa, bukan saya. Di minimarket ini, Risky menghabiskan minumnya kemudian meremas botol, menggepengkan dan menyimpannya ke dalam ransel. Awalnya saya bingung, tapi nantinya saya akan tahu, botol itu di atas sana akan ditiup lagi, mengembung lagi dan diisi lagi dengan air gunung.

Jangan tanya bagaimana dinginnya udara di sana, padahal baru di beskemnya (belum puncak dan perjalanannya). Kaki dan tangan sudah dinginnn, tiap bicara, mulut mengeluarkan uap, dan berkali-kali ingin buang air kecil. Saya suka kamar mandinya, khas pemukiman kaki gunung, bak besar dan air terus mengalir. Jangan tanya dingin airnya seperti apa. Jangan tanya, karena saya akan menceritakan. *hehehe*. Airnya seperti air es dalam botol yang diam-diam saya letakkan di dalam kulkas, dan diam-diam saya minum jika ibu sedang tidak di rumah. Saya suka air dingin sedingin air es, tapi ibu sering melarang saya minum air es, nanti pilek katanya. Tapi saya memang ndableg, jadi seringnya diam-diam minum es. Dan di kamar mandi itu, saya minum airnya, bukan yang dari bak, tapi yang mengalir melalui keran, yang di dalam bak memang lebih dingin tapi ada ikannya, masa iya saya minum air campur pipis ikan. *hihihihi* Eh tapi nikmat lho airnya. Saya minum satu gayung penuh.

Setelah dirasa siap nanjak, kami foto-foto dulu di depan beskem, Risky bilang “tenang saja mbak, lihat nih petanya, kita udah separuh dari ketinggian Merbabu kok.” Kalimat yang saat itu memicu saya untuk tambah semangat, namun kemudian, beberapa jam selanjutnya saya ragukan kebenarannya. Iya, masih jauh, dan masih tinggi.

Tapi sepertinya memang adatnya sesama pendaki, ketika bertemu, pendaki yang turun gunung akan menyemangati pendaki yang baru naik, “semangat mas, mbak...sebentar lagi sampai kok..duluan ya.” Percayalah, yang mereka katakan tidak detil, sampai di manaaaaa???? *hehehe*

Sempat bertemu rombongan pendaki yang cukup unik, dari kejauhan terdengar suara kelintingan sapi. Rupanya, di tas atau baju mereka, dipasang lonceng yang suaranya mirip lonceng pada gerobak sapi. Mungkin maksudnya, kalau ada yang nyasar jadi mudah ditemukan.

Nge-camp semalam. Jangan tanya bagaimana rasanya tidur di tempat sedingin itu, dan badan pegel-pegel. Nggak bisa tidur. Berkali-kali merubah posisi perlahan karena takut membangunkan Mbak Chopie dan Mbak Tyas, sempat keram dan nggak bisa gerak. Dan karena geli betapa saya ini lucu sekali kok bisa-bisa nya ikut munggah gunung, geli dan takjub -akhirnya tidur di gunung-, *ndeso pancenan*  karena tertawa itulah saya bisa bergerak lagi. Sini, saya ceritakan bagaimana cara saya merubah posisi tidur. Tidur menggunakan sleeping bag, jadi mirip enthung –pupa ulat-, nah pernahkah mencoba membalik ulat? coba saja, ulat yang sedang berjalan dibalik menggunakan kayu atau ranting, nanti dia perlahan akan memutar tubuhnya kembali seperti semula, nah begitu pula cara saya merubah posisi, hadap kiri, hadap kanan, hadap atas. Nikmat pegelnya. Malam terasa sangat panjaaaaang.

Pos helipad, jembatan setan, persimpangan puncak syarif. Sempat ragu naik atau tidak ke sana, tapi kapan lagi? Akhirnya naiklah saya ke puncak syarif, ditemani Arif. Foto-foto khas pendaki, pegang tulisan Puncak Syarif. Foto-foto sama Rizqon yang rambutnya kriwil. *bukan karena ada Rizqon yang berambut kriwil lantas saya ingat sesosok rambut kriwil yang di Merapi, tapi memang sepanjang niat naik Merbabu, dia nyangkut terus di pikiran*

Tentang rambut kriwil, sesungguhnya dia tidak merestui saya naik Merbabu, karena dia harus ke Merapi. Eh tapi semoga dia memahami bahwa kini, saya jadi tahu betul bagaimana perasaannya jika sedang di rimba raya. Dan saya kembali menertawakan diri saya sendiri, yaelah bro, sampe segitunya untuk mencoba memahami.

Sampai mana kita tadi. Puncak Syarif. Kemudian menuju puncak Kenteng Songo. Percayalah, kalimat “ayo semangat, sebentar lagi sampai.”, tidak akan pernah absen dari pendengaranmu, jika kau mendaki gunung. Bahkan kalimat, “ayo, kurang sakkilan meneh.”, sakkilan adalah satu jengkal tangan. Sungguh jarak yang pendek, bukan. Iya, tapi tolong bayangkan bahwa satu jengkal tangan itu dilihat sambil mendongak ke atas. Nah, ini baru mendaki, nggremet. Dan begitu sampai di atas, saya adalah yang terakhir, teman-teman bertepuk tangan, “horeeeee....akhirnya Dani sampai di atas.”. Saya. Terharuuuu. Bahagia. Tapi ini bukan jenis bahagia yang sederhana. Naik gunung tidak pernah sederhana. Namun di atas sana kau akan dengan mudah menyadari bahwa kau adalah makhluk yang sederhana di mata Tuhan, sederhana dalam semesta. Kadang, di tengah gemerlap lampu kota, di antara kemudahan mendapatkan sesuatu, kita sulit mengakui bahwa kita ini makhluk sederhana. Kecil. Tak berdaya. Di atas sana, akan ada banyak hal yang kau syukuri, udara yang bersih, tanah yang subur, padang menghijau sepanjang pandang, dan teman-teman yang baik, sangat baik. Bahkan sesama pendaki yang tidak dikenal pun serasa saudara sekampung.

Kenteng Songo berkabut, Merapi bersembunyi, tapi bahkan kebahagiaan kami serasa mampu menembus kabut dan nampaklah sang Merapi. Gerimis datang. Kami membentangkan terpal, berdesakan menikmati rintik hujan, menikmati kebersamaan dan menikmati kurma yang manis. Hujan reda, dan betapa waktu cepat berlalu, kami harus bergegas turun, supaya tidak kemalaman. Kali ini, ransel saya bawa sendiri. Kata mas Dhanny, “beneran mau dibawa sendiri?Mbak Dani kuat?”. Kuat. Turun mah tinggal ngglundung aja kan?! Pemikiran tersebut akan segera saya ralat. Turun itu harus lebih hati-hati. Ngglundung sih bisa aja, tapi....*langsung kebayang ndrojog dari puncak triangulasi* Turun ini saya belajar satu hal, setelah lihat mas-mas turun sambil lari. Iya, lari. Tapi zig-zag. Saya ikutan, eh beneran lebih enteng lho. Ngeremnya juga lebih pakem.

Haus..haus..dan haus. Hujan turun perlahan. Kami melewati ribuan pohon edelwis. Bukit luas yang mirip tempat tinggal teletubis. Lapangan luas yang dikelilingi bukit.

Mengingatnya lagi membuat saya rindu Merbabu. Ah. Sesungguhnya cerita ini tertulis karena saya memang sedang kangen Merbabu. Merbabu yang kemarin sedikit digoyang gempa. Merbabu yang tenang. Merbabu yang mengajari saya untuk lebih bisa mengendalikan ego. Sesungguhnya perjalanan dua tahun yang lalu itu, saya belum mampu mengendalikan ego saya. Saya masih sering mengeluh sepanjang perjalanan. Dan sejujurnya, jika perjalanan itu kami tidak turun di Selo, mungkin di pertengahan jalan, saya menyerah dan memilih kembali ke beskem.

Oh iya, mendaki Merbabu membuat bayangan saya selama ini tentang gunung yang berbentuk segitiga, buyar sudah. Gunung tidak sesederhana itu.

Dan sampai sekarang, jika saya memandang gunung, akan saya amati detilnya, liuknya, padang rumputnya, lembah-bukitnya, dan membayangkan bagaimana rute dan rasa berjalan di sana.

Saya rindu Merbabu. Saya rindu mendaki.

Gunung yang dari kejauhan berwarna abu, semakin dekat berwarna biru dan semakin dekat lagi berwarna hijau.

Gunung yang dalam masa kanak-kanak adalah tempat keluarnya matahari, dan ujung dari jalan raya, seolah semua jalan raya bermuara di kaki gunung.

Perjalanan membawa kami pada suatu waktu yang dinamakan senja. Gerimis menderas. Haus seolah mengejek, begitu banyak air hujan dan kau merasa haus.

Senang, begitu melihat banyak kemah. Saya berlari menuju teman-teman yang lebih dulu sampai. Mereka nampak menunggu sesuatu. Menunggu air terkumpul cukup banyak di atas terpal kemah. Kemudian meminumnya. Dan haus mengalahkan perasaan –itu air kotor nggak ya-.

Dan bahagia itu sederhana adalah ketika ada seorang bapak tua gondrong menatap saya meneguk air hujan itu. Begitu saya selesai minum, bapak itu berkata “alhamdulillah”. Saya tersenyum padanya. Alhamdulillah. 

Hujan pun tersenyum. Bagaimana? Bisa kau bayangkan perasaan saya saat itu.

Hari menggelap. Tanah licin. Sering terpleset. Jatuh bangun. Semakin waspada. Kebelet pipis pula.

Titik-titik lampu perkampungan membuat kami sedikit lega. Sebentar lagi sampai. Kini bukan lagi kalimat –ayo sebentar lagi sampai- yang sedikit melegakan. Namun, gurat kecewa akan mendadak hadir ketika kau belok kanan, titik-titik lampu tadi lenyap. Seolah fatamorgana. Dan terbayang di benak saya adalah film Jurasic Park. Terbayang zaman purba. Kenapa saya membayangkan zaman dan film yang bahkan belum pernah saya tonton sampai tuntas. Entahlah.

Duh dengkul dan kempol sudah kaku. Sulit melangkah. Kewaspadaan sedikit buyar.

Di sisa energi dan semangat, nampak serombongan pendaki. Mereka berteriak (lagi, kalimat itu) “ayo semangat, sudah sampai lho”. Kali ini mereka bersungguh-sungguh. Dan sampailah kami di gerbang pendakian via Selo. Subhanallah.

Para pendaki di beskem senyum-senyum. Entah mereka juga baru turun atau baru akan naik esok hari.

We’re home.

Bersih-bersih, mandi dengan air es. Jangan tanya bagaimana keadaan kaki saya. Kakuuuuu. Hahahahaha. Saya sudah boleh tertawa keras kan. Lega. Sambil menunggu soto dan teh, kami berbincang. Saya bersuara. Ya, percayalah. Selama perjalanan di gunung, saya anteng. Sungguh.

Setelah sampai di beskem Selo, saya bersuara dan bahkan melucu.

Teh panas, soto panas, tidak akan terasa panas di sana. Tapi esoknya, kau akan merasakan lidahmu kebas.
Istirahat kembali dalam sleepingbag, kali ini alasnya datar. Bisa selonjor dengan nyaman. Bisa tidur. Dan tidak mau bangun subuhan. *keplak*

Paginya sumringah, meskipun tetap dingin.

Dengan sebuah pesan, “....... Selamat menapaki jalanmu di usia yang semakin jauh. Bahagia senantiasa.” Di luar, di bukit belakang beskem, saya lihat dua ekor elang terbang. Hae mas, bagaimana kabar Merapi. Maturnuwun sudah merestuiku mendaki Merbabu.

Masih mau dilanjutkan.

Dingin pagi dan kopi tentu tak terpisahkan. Ngopi menggunakan cangkir –yang baru saja dipakai untuk bekam-. Tetap sehat lah ya. Menu lainnya adalah wedang roti plus santan. Masih ingat kan, lidah yang kebas. Santan berasa susu kental manis.

Sudah empat halaman cerita. Cerita yang bahkan ketika ingatan masih hangat, luput tertulis. Kini muncul kembali. Berawal dari kangen Merbabu dan cecuit di socmed, kami mengingat detil perjalanan itu.

Perjalanan yang hingga kini saya syukuri, dan separuh saya rutuk betapa saat itu saya begitu merepotkan teman. Hyahahaha. 

Semoga semua pada enteng jodohnya, dimudahkan skripsinya, dilancarkan rejekinya dan selalu diberkahi sehat bahagia. Aamiin.