Monday, June 30, 2014

hai kamu yang sedang rindu masa lalu
lihatlah aku di sini
menunggu kau hiraukan
berdoa menjadi masa depan
mu



Sunday, June 22, 2014

Sentimental na..na..na..



Mungkin cuma gadis-gadis dalam drama Korea yang jika menangis hidung dan kelopak matanya tidak merah, atau hanya aku saja yang begitu.
Akhir-akhir ini aku begitu sentimental. Entah  karena masih merasa berkabung, atau karena sedang datang bulan. Mungkin alasan terakhir. Aku juga tak tahu pasti. Kadang merasa menyesal belum sempat bertemu ibu. Bukan ibu kandungku, tetapi ibu yang melahirkan mas. Malam ini tepat malam ketujuh beliau “pulang”.
Hari itu kami datang tepat ketika jenazah dibawa ke masjid untuk disalatkan terakhir kalinya. Mas memanggul tandu jenazah dan menyapa kami melalui lambaian tangan. Mas nampak tegar. Dia masih memakai kaos dan celana training, mungkin dia belum sempat berganti pakaian. Aku membayangkan, pagi hari dia masih melakukan aktivitas merawat ibu seperti biasanya, hingga dia mengirimiku sebuah kalimat, “ibu ku sudah ‘pulang’, nduk”. Ah tidakkah lelakiku itu begitu indah memilih kata. Dia sebut ‘pulang’, bukan meninggal.
Kami ikut mengantar hingga tempat peristirahatan terakhir. Hal yang ingin selalu kulihat adalah sosoknya, lelakiku itu. Entahlah, ada hal yang membuatku selalu mencari sosoknya di keramaian. Dia dan bapak. Bapak pun sama tegar, sesekali menghapus dan menahan air di sudut matanya.
Mengingat semua itu seringnya membuatku sesak. Oii..oii..hari itu ingin kupeluk dia.
Dan perasaan sentimental ini semakin menjadi karena bersamaan dengan datang bulan. Jreeng..jreeng..
Ah sesungguhnya aku ini sedang menunggu hujan, hujan cerita darinya. Sesungguhnya, jika dia bercerita, yang merasa lega adalah diriku, seperti sehabis hujan. Yah..perasaan semacam itu. Perasaan lega ketika matahari cerah, udara bersih beraroma tanah basah.

Semoga mas dan bapak, sehat-sehat selalu.
Teriring doa untuk ibu.

*Dan percayalah, besok pagi hidung dan kelopak mataku bengkak. Karena hanya gadis drama Korea yang hidung dan kelopak matanya tidak merah ketika menangis.*

Saturday, June 14, 2014

Uswatun



Pak Pos menyebut namaku Uswatun, meskipun nama yang tertera di paket yang ia bawa adalah Uswahdani. Jika aku sedang tidak menunggu paket datang, namun nama itu yang tertera maka paket itu hanya mampir saja. Tak apa. Aku senang. Toh paket itu boleh kubuka dan kubaca. Ya. Isi paket yang sering datang ke rumah adalah buku. Ada seseorang sering memanggilku Uswahdani, aku pun jadi sering menggunakan nama itu. Nah, ketika datang paket padahal aku tidak sedang menunggu paket, dan nama itu yang tertera, pastilah paket itu miliknya. Kadang dia memanggilku Ni atau Nik. Panggilan yang sering digunakan ibu dan bapak untuk memanggilku, menurutnya menyenangkan memanggil nama ku dengan sebutan Ni atau Nik, saja. Oh iya, dia memanggilku Uswahdani supaya tidak nampak dia sedang ‘berbicara’ dengan lelaki, Dani memang ‘terdengar’ seperti nama lelaki.

Pak Pos menyebut namaku Uswatun, meskipun nama yang tertera pada paket adalah Uswahdani. Orang memang lebih familiar dengan nama Uswatun, Uswatun Khasanah adalah salah satu sebutan untuk Nabi. Artinya adalah teladan yang baik. Mungkin bapak ingin anaknya memiliki sifat baik yang bisa diteladani, seperti Nabi. Lalu kenapa menjadi Uswahdani? Mungkin karena ibuku tidak ingin aku memiliki nama panggilan, Atun. Hehehe. Dan menurut ibu, orang yang beliau kenal, yang bernama Dani, pastilah keren dan pandai. Aamiin.

Pak Pos menyebut namaku Uswatun, meskipun nama yang tertera pada paket adalah Uswahdani. Pak Pos langsung menuju rumahku, tidak lagi bertanya di mana rumah si anak bernama Uswatun ini. Ya, Pak Pos sudah hapal di mana letak rumahku, rumah yang berada di pojok kiri, depan lapangan badminton yang kini sudah tidak tampak lagi seperti lapangan badminton. Pak Pos sudah hapal lantaran beliau sering mengantarkan paket ke rumah. Seringnya paket-paket itu berasal dari Jogja. Para penjual buku dari Jogja memang lebih senang memakai jasa Pos Indonesia, aku pun begitu, jika berat paket yang ku kirim kurang dari 100 gram. Hehehe.

Pak Pos menyebut namaku Uswatun, meskipun nama yang tertera pada paket adalah Uswahdani. Pak Pos yang baik dan murah senyum. Pak Pos yang wajahnya mirip Jeremy Tetti. Pak Pos yang sejak aku kecil sering menyambangi kompleks rumah untuk mengantar surat, kartu pos atau paket. Seingatku tidak pernah berganti dengan Pak Pos yang lain.

Pak Pos menyebut namaku Uswatun, meskipun nama yang tertera pada paket adalah Uswahdani. Siang ini kukoreksi, “Uswahdani, Pak.” Beliau menengok nama pada paket di tangannya, “Oh iya, Uswahdani. Seringnya kan Uswatun. Hehehe. Biasanya rumah ini tutupan, jadi saya titipin ke mbah.” Mbah yang beliau maksud adalah tetangga depan rumah.

Pak Pos menyebut namaku Uswatun,, meskipun nama yang tertera pada paket adalah Uswahdani. Tapi mungkin, lain kali jika ada paket untukku, beliau akan menyebut namaku Uswahdani. Dan jika saat itu tiba, aku akan bilang “Boleh juga dipanggil Dani, Pak.” 

Postingan ini sesungguhnya narsis saja.

Tuesday, June 03, 2014

Bianglala



Bianglala dalam ingatanku adalah pacar yang tetiba bilang sayang setelah sekian tahun tidak. Namun kini pacar itu telah menjadi mantan. 

Bianglala dalam ingatanku adalah janin yang tidak disadari seorang teman hadir dalam rahimnya. Janin itu sudah lahir, sehat dan kini sudah masuk TK.

Bianglala dan halilintar dalam ingatanku adalah keinginan untuk kelak ketika aku menikah, aku ingin menaiki semua wahana di Dufan itu bersama suami.

Bianglala mengingatkanku pada sore yang hujan dan berangin lembut yang membuatku tak bisa merasakan kegilaan menaiki tornado, ontang anting dan wahana ekstrim lainnya.

Bianglala mengingatkanku pada senja di ibukota.

Bianglala mengingatkanku akan keceriaan dan sendu dalam waktu bersamaan.

Bianglala mengingatkan ku akan rindu, padamu...

Ibunya



Aku ingin bertemu ibunya. Aku ingin menjenguknya, mengupaskan buah-buahan yang kubawa, buah-buahan yang dititipkan ibuku untuknya. Kemudian membujuknya makan.

Ya. Sebegitu besar harapan bertemu ibunya dan bapaknya. Terlalu besar harapan hingga mudah kecewa. Diriku memang tidak memiliki tingkat kesabaran yang cukup cerdas, hingga apa-apa yang kuharapkan mudah kandas, terhempas. Berpegang teguh pada waktu yang mereka sebut ‘selepas salat jum’at’, sampai adzan asar pun terlewat tak kunjung berangkat. Tingkat sabarku yang tadi kusebut tidak cukup cerdas, membuatku berbalik arah menuju rumah.

Keinginan untuk belajar menjadi mantu yang baik pun tertunda. Ah mungkin semesta yang sempat berderai air mata menginginkanku terlebih dahulu menjadi anak yang baik. Supaya pada ibuku sendiri aku mampu berbakti. Memang harus demikian kurasa.

Belum mampu bertemu sapa, mari melalui doa. Doa untuk ibuku, ibunya, bapakku, bapaknya, supaya selalu dinaungi sehat bahagia. Diriku dan dirinya supaya selalu istiqomah meniti jalan menuju masa depan yang kami impikan. Aamiin.