Mari kita bercerita
tentang bajigur. Kata yang akhir-akhir ini akrab di telinga saya.
Coba saja googling dengan kata kunci “bajigur”
maka akan muncul di laman teratas yaitu definisi dari wikipedia: “Bajigur
is a hot and sweet beverage native to the Sundanese people of West Java, Indonesia. The main ingredients are coconut milk and Aren sugar; usually to add taste, a small amount of ginger and a small pinch of salt. Traditionally fragrant pandan leaves were added, but now often artificial
vanilla powder is used. It can also include kopi tubruk, finely pounded coffee.” Ya, bajigur adalah nama
minuman hangat yang sudah tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia. Oleh
sebab itu, pada hasil penelusuran mesin google akan banyak laman yang
menunjukkan resep minuman ini.
Pada umumnya bajigur terdiri dari santan, gula
aren, jahe, kayu manis, sedikit garam, bubuk kopi dan daun pandan. Namun ada
juga yang menambahkan bubuk pala, sereh dan cengkeh, serta menambahkan kolang
kaling dan serutan daging kelapa muda. Saya sendiri belum pernah mencoba
membuat minuman ini, belum pernah tertarik.
Bajigur bagi masyarakat Sunda adalah jenis
minuman. Namun, bajigur bagi masyarakat Jawa Tengah dan DIY, bisa berarti
umpatan. Masih menurut wikipedia, “In Javanese language, the term "bajigur"
was used as euphemism for the swear word bajingan".
Pada kamusslang.com disebut bahwa kata bajigur
adalah adik dari kata bajingan. Bajingan artinya apa saya tidak tahu, yang saya
tahu bajing adalah nama hewan. Oh mungkin bajingan adalah sebutan bagi orang
yang kelakuannya mirip bajing. Kelakuan bajing seperti apa, saya tidak tahu.
Tapi jika bertanya pada orang tua, apa arti bajingan maka dapat dipastikan kita
akan di-huss-kan, yang berarti –tidak boleh bicara seperti itu, itu kata-kata
kasar-.
Masih menatap hasil penelusuran google, saya
menemukan Kyai Bajigur. Tempo.co menulis tentang sebuah pondok pesantren di
Sumenep Jawa Timur, Pondok Pesantren Salafiyah Al-Bajigur. Salah seorang kyai
nya yaitu K.H Abdurrahman sering disebut sebagai Kyai Bajigur.
Lalu, manakah bajigur yang sering saya dengar?
Tidak satupun dari definisi di atas. Bajigur yang saya dengar adalah ungkapan
takjub. Separuh mengumpat, separuh tak percaya (gumun) pada apa yang dilihat, bisa jadi juga separuh memuji.
Hehehe.
Awalnya memang janggal, namun kemudian saya
terbiasa, bahkan kadang saya sudah memprediksi kapan kata itu akan saya dengar.
Siapa yang mengucapkannya? Dia adalah guru imaji
bagi seseorang. Meskipun hingga sekarang imaji yang bagaimana saya juga masih
tak begitu paham. Orang ini memang menarik.
Mari saya ceritakan, ‘bajigur’ yang membuat saya
menoleh cepat pada pengucapnya. Dua kali bajigur yang membuat saya memahami
definisi baru. Bajigur yang pertama adalah ketika saya ngeyel untuk menulis judul pada kaset CD. Setelah selesai saya menuliskan
judul isi kaset CD tersebut, dia berujar “bajigur!”, saya bertanya apanya yang
bajigur, dia menjawab “tulisane apik..”. Seperti yang saya utarakan tadi,
definisi pengucapan bajigur olehnya adalah wujud takjub, separuh mengumpat,
separuh gumun dan separuh memuji.
Bajigur kali kedua adalah ketika kami melihat
anggrek hutan di Sumowono, ada anggrek kecil, anggrek se-upil, yang belum
pernah dia lihat, yang akhirnya kami beli, dan kini nangkring di pohon sukun
belakang rumah saya. Percayalah, dia sudah banyak melihat anggrek se-upil,
se-upil garing, se-kutil,
se-andeng-andeng, se-jerawat batu. Ya, ketika melihat anggrek se-upil itu, dia
berujar “bajigur!”. itu adalah ungkapan takjub, gumun dan memuji. Biarpun saya
menyebutnya se-upil, tolong jangan membayangkan anggrek ini buruk rupa, anggrek
ini cantik, sungguh, jika dilihat menggunakan kamera makro atau mikroskop.
Hehehe. Hmm...nama anggrek ini Appendicula purpurascens Blume.
Bajigur yang bukan lagi
berarti umpatan kasar, bajigur yang bukan berarti minuman. Bajigur yang
mengungkapkan ketakjuban yang sulit diungkapkan oleh kata-kata.
Bajigur oh bajigur....
Saya jadi lapar.